Foto : Zainal Irfandi/Istimewa
Refleksi Hari TANI Nasional: Nasib Petani dan Perwujudan UU Agraria
Penulis : Zainal Irfandi
Sekretaris Wilayah GPI Jakarta Raya
Narasiumat.com - Hari Tani Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 September merupakan momentum penting untuk merefleksikan nasib petani dan perwujudan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. UUPA, yang menjadi landasan kebijakan agraria di Indonesia, diharapkan mampu mewujudkan keadilan dalam pengelolaan sumber daya agraria serta meningkatkan kesejahteraan petani. Namun, dalam perjalanannya, berbagai tantangan masih terus menghambat implementasi yang ideal dari undang-undang ini.
Sejarah UUPA dan Tujuan Pembentukannya
Lahirnya UUPA pada 1960 berangkat dari realitas ketimpangan agraria yang terjadi di masa kolonial. Tanah sebagai salah satu sumber penghidupan masyarakat, terutama petani, banyak dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki akses lebih besar seperti perusahaan-perusahaan asing dan para penguasa. UUPA dirancang untuk mengembalikan kedaulatan agraria ke tangan rakyat, khususnya petani kecil, dengan landasan prinsip keadilan sosial.
UUPA memiliki tujuan utama sebagai berikut:
1. Mengakhiri sistem feodalisme tanah yang banyak merugikan petani.
2. Memberikan kepastian hukum bagi petani atas hak kepemilikan tanah.
3. Menjamin akses yang adil terhadap sumber daya agraria, sehingga tidak ada monopoli oleh segelintir orang.
4. Mendorong produktivitas dan kesejahteraan petani melalui reformasi agraria yang adil.
Namun, enam dekade setelah lahirnya UUPA, perwujudan reformasi agraria yang diharapkan belum sepenuhnya tercapai. Ketimpangan penguasaan tanah dan masalah kesejahteraan petani masih menjadi isu yang menghantui sektor agraria Indonesia.
Kondisi Petani Indonesia Saat Ini
Petani, sebagai salah satu elemen penting dalam rantai produksi pangan nasional, masih menghadapi berbagai tantangan dalam menjalani kehidupannya. Tantangan utama yang mereka hadapi antara lain:
1. Ketimpangan Penguasaan Tanah
Meskipun UUPA bertujuan untuk mengatasi monopoli tanah, realitasnya ketimpangan penguasaan tanah masih sangat tinggi. Sebagian besar tanah dikuasai oleh korporasi besar atau pihak swasta, sementara petani kecil hanya memiliki lahan yang sangat terbatas, bahkan banyak yang tidak memiliki lahan sama sekali. Ketimpangan ini semakin parah dengan maraknya konflik agraria yang melibatkan perebutan lahan antara petani dengan perusahaan atau pemerintah.
2. Akses Terbatas terhadap Modal dan Teknologi
Petani kecil di Indonesia seringkali kesulitan untuk mendapatkan modal yang cukup untuk meningkatkan produktivitas. Di samping itu, akses terhadap teknologi pertanian modern masih terbatas. Hal ini menyebabkan produktivitas mereka tertinggal dibandingkan petani di negara lain yang sudah memanfaatkan teknologi lebih maju.
3. Harga Komoditas yang Fluktuatif
Ketergantungan petani terhadap harga komoditas yang tidak stabil juga menjadi masalah besar. Pada saat harga panen jatuh, petani seringkali merugi karena biaya produksi yang tidak sebanding dengan harga jual. Sebaliknya, ketika harga komoditas naik, petani tidak selalu menikmati hasilnya karena rantai distribusi yang panjang dan tidak efisien.
4. Kesejahteraan Petani
Indikator kesejahteraan petani masih rendah. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa banyak petani di Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ketidakpastian pendapatan dan keterbatasan akses terhadap pendidikan serta kesehatan memperparah kondisi ini.
Reformasi Agraria: Antara Harapan dan Realitas
Salah satu komitmen pemerintah yang terus digaungkan adalah reformasi agraria, yakni redistribusi tanah kepada petani kecil dan masyarakat adat. Program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah bertujuan untuk memberikan kepastian hak milik bagi petani serta mendorong peningkatan produktivitas lahan. Namun, di lapangan, implementasinya sering kali dihadapkan pada berbagai kendala, mulai dari tumpang tindih kepemilikan lahan, konflik dengan perusahaan swasta, hingga keterbatasan anggaran.
Selain itu, reforma agraria juga perlu didukung oleh kebijakan yang komprehensif di sektor-sektor terkait, seperti akses terhadap pembiayaan, penyuluhan pertanian, infrastruktur, dan perlindungan harga komoditas. Tanpa dukungan ini, redistribusi tanah saja tidak akan cukup untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Langkah ke Depan: Perwujudan Keadilan Agraria
Untuk mewujudkan cita-cita UUPA dan memastikan kesejahteraan petani, beberapa langkah penting yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan semua pemangku kepentingan antara lain:
1. Memperkuat Implementasi Reforma Agraria
Proses redistribusi tanah harus dilaksanakan secara lebih adil dan transparan. Pemerintah juga harus memastikan bahwa tanah yang diberikan kepada petani tidak hanya secara legal formal, tetapi juga dapat dimanfaatkan secara produktif.
2. Mempermudah Akses Modal dan Teknologi
Pemerintah perlu menginisiasi program-program yang memudahkan petani mendapatkan akses permodalan dan teknologi pertanian. Hal ini penting untuk mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing petani.
3. Melindungi Petani dari Fluktuasi Harga
Kebijakan perlindungan harga komoditas pertanian perlu diperkuat agar petani tidak menjadi korban ketidakstabilan pasar. Salah satu solusinya adalah dengan memperkuat peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor pangan untuk menstabilkan harga jual.
4. Peningkatan Pendidikan dan Pelatihan bagi Petani
Petani harus diberikan akses yang lebih luas terhadap pendidikan dan pelatihan agar mereka bisa memanfaatkan teknologi pertanian yang lebih modern dan meningkatkan kapasitas produksinya.
Hari Tani Nasional harus menjadi momen refleksi untuk kembali memperjuangkan hak-hak petani dan keadilan agraria di Indonesia. Meski UUPA telah memberikan fondasi hukum yang kuat, implementasi yang efektif dan dukungan kebijakan yang komprehensif masih sangat dibutuhkan. Nasib petani dan reforma agraria tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh masyarakat dalam mendorong terwujudnya keadilan agraria demi kemakmuran bersama.