Foto : Istimewa |
“Memutusan menyatakan Ike Farida bersalah melakukan tindak pidana sumpah palsu, menghukum Ike Farida 5 bulan penjara,” kata ketua Majelis Hakim, Selasa (3/11/2024).
Putusan Majelis Hakim PN Jakarta Selatan lebih ringan dibandingkan tuntutan JPU 1 tahun 6 bulan. Dengan dibacakannya putuşan ini, menandakan bahwa tindak pidana sumpah palsu melalui kuasa hukumnya yang didakwakan Penuntut Umum bukanlah isapan jempol belaka.
Menanggapi putusan tersebut, Ike Farida langsung menyatakan banding. “Yang Mulia saya akan menyatakan banding.” Kata Ike Farida.
Putusan tersebut menjadi bukti bahwa keterangan saksi fakta dan keterangan ahli yang dihadirkan penuntut umum di dalam persidangan ini telah dijadikan pertimbangan ketika Majelis hakim menetapkan keputusan.
Di luar ruang sidang, ratusan massa yang mengatasnamakan Solidaritas Rakyat Peduli Hukum (SRPH) berorasi menyampaikan kembali kronologis kejadian yang berujung pada perkara pidana sumpah palsu ini, dan meminta Majelis memutus sesuai dengan fakta hukum yang disampaikan saksi fakta dan keterangan asli selama pemeriksaan.
Sambil membentangkan spanduk yang bertuliskan “Tegakkan Hukum Pelaku Sumpah palsu”, massa SRPH juga meminta agar Majelis tidak terpengaruh dengan upaya penggiringan opini yang silakukan oleh pihak Ike Farida.
“Kami meminta agar Majelis hakim memutus sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan dan tidak termakan opini yang dikembangkan oleh pihak terdakwa yang selalu menyudutkan kepolisian, kejaksaaan dan hakim,” ujar Fandi, perwakilan massa SRPH ketika berorasi di depan PN Jakarta Selatan.
Sementara itu, kepada wartawan Tim Penasehat Hukum Ike Farida mengungkapkan kekecewaannya atas ovnis bersalah dari Majelis Hakim dan akan melakukan banding.
“Kami pastikan akan melakukan banding, karena Ike Farida tidak pernah hadir di pengadilan dan tidak pernah diambil sumpahnya, semua sumpah dilakukan oleh kuasa hukumnya,” Ujar Agustrias Andhika.
Jika dilakukan kilas balik ke belakang, Perkara ini telah berlangsung selama 12 tahun, dimulai pada 26 Mei 2012 Ike Farida membeli satu unit apartment Casa Grande Residence dengan surat pesanan dan membayar 10 juta, kemudian 30 Mei 2021 Ike Farida membayar lunas 3,04 Milyar.
Ketika akan dibuat PPJB dan AJB ditolak oleh Pengembang karena Ike Farida bersuamikan WNA asal Jepang dan tidak memiliki Perjanjian perkawinan pisah harta. Sesuai ketentuan hukum berlaku saat itu bahwa WNI yang kawin campur dengan WNA jika ingin membeli aset di Indonesia harus memiliki perjanjian perkawinan pisah harta. Dasar hukumnya yaitu Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 103 tahun 2015 tentang Pemilikan tanah tempat tinggal atau hunian orang asing yang berkedudukan di Indonesia, dan Pasal 70 Ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2021 tentang Hak pengelolaan, Hak Atas tanah, Satuan rumah susun, dan Pendaftaran tanah.
Pengembang telah menawarkan pengembalian uang secara utuh kepada Ike Farida, namun Ike Farida menolak pengembalian tersebut. Bahkan pada tahun 2014, Pengembang sudah menitipkan uang tersebut melalui konsinyasi di PN Jakarta Selatan, namun Ike Farida tetap menolak menerimanya. Hal ini membuktikan bahwa FF sudah beritikad baik untuk menyelesaian perkara ini.
Kemudian pada tahun 2015 Ike Farida menggugat Pengembang ke PN Jaksel - 2015 (Ike Farida Kalah/Ditolak), Ike Farida melakukan Banding - 2018 (Ike Farida Kalah/Ditolak), Ike Farida mengajukan Kasasi - 2018 (Ike Farida Kalah/Ditolak), kemudian Ike Farida mengajukan Peninjauan Kembali (PK) - 2021 (Gugatan Ike Farida Dikabulkan).
Baru pada tahun 2017 Ike Farida dan suaminya (WNA asal Jepang) membuat perjanjian perkawinan pisah harta yang diaktakan oleh Notaris Cahriani, SH., M.Kn., yang kemudian digunakan sebagai bukti di tingkat Banding. Namun banding Ike Farida tidak dikabulkan, begitu pula pada tingkat kasasi.
Ike Farida tidak puas, lalu mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Dalam Persidangan PK pada tanggal 4 Mei 2020 dilaksanakan Pengambilan Sumpah Penemuan Bukti Baru atau Novum tersebut yang dilakukan Kuasa Hukum Ike Farida berdasarkan surat kuasa khusus dari Ike Farida tertanggal 22 Februari 2020. Advokat/pengacara dilindungi UU Advokat untuk bertindak atas nama pemberi kuasa, oleh karena itu pertanggungjawaban hukum atas sumpah penemu bukti baru atau novum tersebut terletak pada pemberi kuasa yaitu Ike Farida.
Setelah putusan Bukti baru atau Novum yang diajukan dalam PK tersebut ternyata adalah berupa : (1) pencatatan pelaporan akta perjanjian perkawinan No. 5 tanggal 25 April 2017 yang telah dicatatkan pada halaman belakang buku nikah yang sudah sudah pernah digunakan dalam sidang banding tahun 2017 ( sebagai bukti P7 Banding), (2) Surat Dinas Cia Karya, Tata Ruang dan Pertanahan DKI Jakarta No.107/-1.785.51, tertanggal 11 Februari 2020, dan (3) Surat Badan Pertanahan Nasional DK Jakarta No. 3212/7.31.200/XI/2015, tertanggal 27 November 2015.
Dalam sumpah dimuka sidang yang dilakukan oleh Ike Farida melalui kuasanya dinyatakan bahwa bukti baru atau novum tersebut belum pernah digunakan pada perkara sebelumnya, namun kenyataannya ketiga bukti tersebut sudah pernah digunakan.
Berdadasarkan fakta tersebut di atas, maka patut diduga Ike Farida telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 242 KUHP dan/atau Pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 266 KUHP tentang dugaan tindak pidana memberikan keterangan palsu dan/atau pemalsuan dan/atau menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik, dengan Andaman hukuman hingga 7 tahun penjara. Atas dasar ini pada 24 September 2024 pengembang melaporkan terdakwa Ike Farida ke Polda Metrojaya (LP/B/4738/IX/2021/SPKT/Polda Metro Jaya).
Kesaksian mantan Kuasa Hukum Ike Farida, Nurindah MM Simbolon, SH., L.LM
Pada Senin (25/10/2024), saksi Nurindah menyatakan bahwa memori Peninjauan Kembali yang menyertakan tiga bukti baru merupakan hasil pembahasan dan persetujuan dari Ibu Ike Farida sebelum diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan Nurindah hanya mewakili Ibu Ike berdasarkan surat kuasa yang diberikan kepadanya.
Kuasa hukum Nurindah, Lammarasi Siholoho dan Bambang Ginting kepada media, Jumat (25/10/2024) bahwa Sebagai Advokat baru di kantor Farida Law Office, mana mungkin Nurindah berbuat tanpa izin dan persetujuan Ike Farida sebagai Advokat senior sekaligus bos di kantor Farida Law Office.
Pihak Nurindah heran mengapa Ike Farida mau mengakui hasil kemenangan Peninjauan Kembali tetapi tidak mau mengakui prosesnya. Pihak Nurindah juga menyayangkan Ike Farida lepas tang dan ingin mengkambinghitamkan Nurindah.
Keterangan Ahli Digital Forensik, Saji Purwanto, SH., MCFE., OSFTC., ACE., CHFI., ECSA
Dalam kesaksiannya, Rabu (30/10/2024), saksi ahli digital forensik menyebutkan bahwa pihaknya yang memeriksa barang bukti elektronik yang disita dari saksi Nurindah Melati Monika Simbolon, salah satunya adalah telpon genggam. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui percakapan antara Nurindah dengan Ike Farida dalam rentang waktu Februari - Desember 2020, yang pada pokoknya berhubungan dengan pengajuan memori peninjauan kembali dan sidang sumpah novum Ike Farida yang diwakili Nurindah.
Dalam percakapan WAG tergambar bahwa Nurindah, Kuasa Hukum Ike Farida pada saat itu secara rutin memberikan laporan, meminta pendapat dan meminta persetujuan terkait langkah-langkah yang akan atau telah dilakukannya sehubungan dengan pengajuan peninjauan kembali dan sidang sumpah novum.
Nurindah selaku kuasa hukum digambarkan selalu berkordinasi dan minta persetujuan kepada seseorang yang dipanggil Sensei (dalam bahasa Jepang berarti guru). Sensei ini juga terdengar sebagai sorok pimpinan yang mengontrol setiap tindakan Nurindah. Ahli menyebut bahwa Sensei ini tidak lain adalah terdakwa Ike Farida.
Keterangan Ahli Pidana, Prof. Dr. Suhandi Cahaya, SH., MH., MBA
Ketika ditanya Jaksa tentang makna pasal 242 KUHP dalam kasus sumpah palsu, ahli menerangkan bahwa yang dapat dipidana dengan pasal itu adalah orang pribadi atau orang menyuruh kuasanya. Ahli juga menjelaskan tentang doktrin unsur pemidanaan harus ada opzet (kesengajaan), actus reus (perbuatan salah) dan mens rea (niat jahat).
Dalam kasus sumpah palsu Ike Farida unsur pemidaan tersebut dimulai ketika PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) tidak bisa dilaksanakan kemudian pengembang berniat mengembalikan uang yang telah dibayarkan, dan bahkan telah mengajukan konsinyasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan dikabulkan, namun Ike Farida malah melaporkan pengembang ke polisi dengan tuduhan penggelapan dan dihentikan karena tidak ada unsur pidanya (SP3), kemudian Ike Farida mengirim somasi sebanyak tiga kali dan berlanjut menggugat pengembang dengan tuduhan wanprestasi hingga perkaranya berlanjut sampai hari ini.
“Jadi tadi sudah saya terangkan di depan sidang, bahwa katanya upaya hukum kalau saya bilang itu suatu mens rea (niat jahat), ngasih somasi tiga kali berturut-turut tiga minggu, yang kedua laporin pidana di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan karena tidak ada bukti adnya delik pidana), yang ketiga pihak perusahaan (pengembang) menitipkan uangnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur kemudian dibantahnya (Ike Farida) gak mau ngambil, yang keempat dia menggugat perdata, yang kelima terjadinya PK (Peninjuan Kembali dengan novum yang seolah-olah baru ditemukan) itu. Apa itu bukan mens rea, katanya itu upaya hukum, tapikan itu menyerna habis dengan berbagai cara,” kata ahli pidana Suhandi kepada Wartawan, Kamis (31/10/2024).
Perkara ini berkembang menjadi laporan pidana sumpah palsu, karena sumpah novum yang dilakukan Nurindah tersebut menyertakan novum Surat Kanwil BPN DKI Jakarta Nomor 3212 tertanggal 27 November 2015 yang sudah pernah digunakan pada perkara sebelumnya di Pengadilan negeri Jakarta Selatan dan tertera dalam salinan putuşan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2015 yang dituliskan sebagai bukti P-65.
Selain itu, Sumpah Novum juga menyertakan novum pencatatan pelaporan akta perkawinan pisah harta antara Ike Farida dan suaminya pada tahun 2017 yang sudah pernah digunakan sebagai bukti dalam upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Keterangan Ahli Pidana, Komjen (Purn.) Susno Duadji.
Dalam Kesaksiannya, Kamis (7/11/2024), ahli Susno Duadji menjelaskan bahwa surat arahan hasil gelar perkara khusus Ike Farida hanya untuk kepentingan internal institusi kepolisian dan penyidik yang sedang menangani perkara, yang perlu diperhatikan dalam hasil gelar perkara khusus adalah pada bagian rekomendasinya.
Kemudian ahli juga menanggapi pertanyaan Huasa Hukum Ike Farida, Alya Hiroko, yang meminta ahli menjelaskan status surat Komnas HAM dan Komnas Perempuan kepada penyidik yang menyebutkan bahwa tindakan penyidik telah melanggar HAM.
Susno menyatakan jika penyidik menerima surat dari instusi lain di luar kepolisian yang menyatakan tindakan penyidik melanggar HAM, maka penyidik sebaiknya berkonsultasi dan minta arahan kepada atasannya, bisa Direskrim atau Kapolda langsung. Namun, secara hukum Penyidik bersIke Faridaat independen tidak boleh diintervensi oleh pihak mananpun.
Ahli juga menanggapi pertanyaan dari terdakwa Ike Farida yang menanyakan status penetapan tersangka, penyitaan barang bukti dan penangkapan yang diduga bermasalah. Susno Menyatakan bahwa penetapan tersangka, penyitaan barang bukti dan penangkapan merupakan objek pra peradilan yang bisa diuji keabsahannya, jika belum pernah diuji maka bisa dimintakan pendapat kepada Majelis Hakim dan Majelis Hakim yang akan memutuskan.
Dalam persidangan, Ike Farida sempat mengemukaan alasan bahwa ia tidak faham kalau PK harus ada novum dan harus disumpah novum. Seseorang dengan latar belakang Pendidikan Hukum dan memiliki Law Firm tidak faham harus ada sumpah untuk menyatakan bukti baru.
“Saya tidak pernah menghadiri persidangan dari Tingkat pertama sampai dengan peninjauan Kembali, jadi saya tidak mengetahui bukti apa saja yang sudah digunakan sebelumnya. Nurindah dan Yahya sudah kami laporkan kepada Peradi karena diduga melakukan pelanggaran etik,” disampaikan Ike Farida di persidangan.
“Yang Mulia, terus terang saya banyak belajar dari kasus ini. Selama ini saya tidak begitu paham beracara litigasi,’ kata Ike Farida di hadapan Majelis Hakim PN Jaksel.
Keterangan Ike Farida tersebut dibantah oleh Yahya, mantan rekanan Ike Farida di Farida Law Office yang juga suami dari saksi Nurindah.
“Ibu Ike Farida adalah orang yang teliti dan selalu memeriksa setiap dokumen yang akan digunakan, dan ada grup whatsap bersama antara kuasa hukum dengan Ike Farida, jadi semua hal pasti dibicarakan bersama dengan Ike Farida,” kata Yahya, mantan Lawyer Ike Farida dalam kesaksiannya, Selasa (28/10/2024).